Sabtu, 19 April 2014

Paradigma Baru tentang HIV/AIDS



Setiap tahun hampir di seluruh penjuru Asia penderita HIV/AIDS bertambah. Untuk Indonesia, berdasarkan laporan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI jumlah penderita HIV pada tahun 2005 jumlah kasus yang laporkan mencapai 859, tahun 2006 (7.195), tahun 2007 (6.048), tahun 2008 (20.362), tahun 2009 (9.793), tahun 2010 (21.591), tahun 2011 (21.031), tahun 2012 (21.511), dan bulan Maret tahun 2013 (103. 759).

Jumlah pengidap AIDS juga lumayan banyak yaitu pada tahun 2005 sebanyak 4.987, tahun 2006 (3.514), tahun 2007 (4.425), tahun 2008 (4.943), tahun 2009 (5.483), tahun 2010 (6.845), tahun 2011 (7.004), tahun 2012 (5.686), komulatif dari tahun 1987 sampai bulan Maret tahun 2013 (43.347).  Pada bulan September 2013 jumlah komulatif HIV/AIDS mencapai 152.267 dan kemungkinan sekarang jumlahnya bertambah. Cepatnya penyebaran HIV/AIDS di Indonesia didorong oleh berbagai sebab seperti minimnya pendidikan seks, ketimpangan gender, kasus narkoba, serta maraknya industri seks komersial. 

Acquired Immune Deficiency Syndrome atau disebut AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immuno Deficiency Virus). Penyakit ini mudah menular dan mematikan. Sistem kerja virus ini yaitu merusak sistem kekebalan tubuh manusia, dengan berakibat penderita kehilangan daya tahan tubuhnya, akibatnya mudah terinfeksi dan meninggal karena berbagai penyakit infeksi kanker dan lain-lain. Hingga sekarang, belum ditemukan vaksin pencegahan atau obat untuk penyembuhannya. Rentang waktu antara terkena infeksi dan munculnya gejala penyakit pada orang dewasa memakan waktu rata-rata 5-7 tahun dan untuk anak-anak dan remaja lebih singkat dari itu. Selama kurun waktu tersebut walaupun terlihat sehat, sebenarnya pengidap HIV dapat menularkan virusnya pada orang lain.

Usaha menanggulangi peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS perlu mendapat perhatian serius di dunia pendidikan. Pendidikan dapat digunakan sebagai media untuk menyebarkan informasi yang komprehensif mengenai bahaya serta pencegahan penularan HIV/AIDS. Salah satu media menyebarkan informasi tersebut adalah dengan peningkatan mutu Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), pendidikan remaja sebaya, diseminasi pencegahan HIV/AIDS, lomba debat, lomba penulisan, cerdas cermat, materi dinasukkan majalah dinding, poster, dan karikatur. Yang penting materi diberikan secara konsisten, berkelanjutan, dan direncanakan secara matang dengan menggunakan segala potensi yang ada di lingkungan sekolah .

Guru di sekolah merupakan ujung tombak pelaksanaan pembelajaran yang memegang peranan penting guna mendukung terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas bebas dari HIV/AIDS. Maka guru harus paham bagaimana pendidikan tentang HIV/AIDS dapat terintegrasi lewat beberapa mata pelajaran di sekolah seperti Agama, Biologi, Bahasa Indonesia, Pendidikan Jasmani Kesehatan, dan lain-lainnya. Guru juga harus lihai dalam memberikan materi tentang HIV/AIDS agar pengetahuan itu tidak hanya sampai menyentuh domain kognitif siswa. Namun, juga menyentuh domain affektif (perasaan dan sikap) dan psikomotor (perubahan perilaku) siswa. Maka guru harus berwawasan luas dan mendapat pelatihan soft skill dalam pendidikan tentang HIV/AIDS.

Pendidikan tentang HIV/AIDS  juga menemui tantangan. Menurut Ahmed Afzal, yang merupakan konsultan bagi UNESCO. Dikatakan bahwa yang menjadi tantangan utama yang dihadapi ketika berbicara dengan para perancang pendidikan dan para guru tentang pendidikan pencegahan HIV adalah ketika bersentuhan dengan nilai sensitifitas agama dan budaya. Promosi mengenai kondom sebagai pencegahan HIV adalah sensitif. Padahal hasil riset di seluruh dunia bahwa promosi kondom, ketika dilakukan sebagai bagian dari pendidikan seks yang benar, menimbulkan perilaku seksual yang bertanggungjawab di antara para kaum muda bahkan menunda hubungan seksual awal mereka.

Menurut kebanyakan pemuka agama,  guru, dan orangtua bahwa dengan distribusi dan promosi tentang kondom secara tidak langsung mendorong orang muda untuk menjadi aktif secara seksual. Ketidaktahuan mereka menimbulkan kegelapan hati dan jauh dari karakter bijak. Maka perlu merefresh kembali pemahaman agama dan pendidikan.

Tanpa kita sadari bahwa seruan moral beberapa tokoh agama kaitannya dengan AIDS seringkali malah mengajari masyarakat untuk melakukan penghakiman-penghakiman tertentu terhadap ODHA. Secara tidak langsung beberapa pemuka agama menegaskan bahwa seakan-akan orang yang terinfeksi HIV&AIDS adalah pezina, manusia yang diazab Tuhan, manusia tak bermoral yang harus dijauhi.

Muncul pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab bagaimanakah dengan orang-orang bermoral dan tak berdosa yang terinfeksi HIV? Apabila AIDS merupakan bentuk dari hukuman Tuhan bagi pezina, mengapa masih banyak pezina-pezina yang tidak dihukum AIDS? Jika Tuhan Maha Adil, mengapa Ia hanya menghukum beberapa orang saja sedang yang lain Ia biarkan sehat berbahagia dalam gelimang kehinaan? Bagaimanakah kita menjelaskan secara moral, bahwa wanita yang terkena HIV merupakan wanita “baik-baik” yang tidak pernah berzina, bahkan tidak berhubungan sex selain dengan suami-suami mereka yang sah? Bagaimana juga kita harus menjelaskan AIDS sebagai hukuman Tuhan atas ratusan bayi Indonesia yang terlahir dalam keadaan positiv HIV?

Diskriminasi dan penghakiman-penghakiman terhadap ODHA menyebabkan tingkat penyebaran HIV semakin tidak terkendali. Orang yang sudah terinfeksi menjadi malu untuk melakukan test darah, sehingga statusnya dirahasiakan, padahal aktivitas seksualnya masih terus berjalan, HIV kemudian menular ke mana-mana.

Nuryah, S.Pd.I
Guru Pendidikan Agama Islam SMP Budi Utama Yogyakarta sekarang sedang melanjutkan pendidikan S2 di Programpascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


0 komentar:

Posting Komentar