Sabtu, 19 April 2014

Indonesia dan Pendidikan Toleransi


Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau termasuk 9.634 pulau kecil yang belum diberi nama serta 6.000 pulau yang tidak berpenghuni. Indonesia juga memiliki lebih dari 740 suku bangsa. Indonesia juga memiliki 583 bahasa serta dialek dari 67 bahasa induk yang dipakai berbagai suku bangsa di Indonesia. Sempurnalah sebutan untuk Indonesia sebagai negara multikultural yang mempunyai beragam adat istiadat, etnis dan  budaya. Indonesia juga bisa disebut sebagai negara pluralis karena ditandai kemajemukan agama, budaya, dan etnis tersebut.

Keragaman masyarakat Indonesia tersebut yang terdiri dari beberapa pemeluk agama dan  banyak suku. Seyogyanya perlu pencarian bentuk pendidikan alternatif yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkannya kepada generasi berikutnya. Pendidikan alternatif tersebut juga diharapkan mampu menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta mengajarkan keterbukaan dan dialog.Pendidikan tersebut juga hendaknya mengarah untuk menciptakan manusia-manusia yang cerdas serta manusia-manusia yang sangat menghargai kedamaian. Pendidikan ini nanti haruslah menciptakan manusia-manusia yang memiliki integritas tinggi,wawasan yang luas, serta harus menghargai kemajemukan. 

Senada dengan yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal  PBB, Ban Ki-moon yaitu setiap anak perempuan dan anak laki-laki berhak menerima pendidikan yang berkualitas serta mempelajari nilai-nilai yang membantu mereka tumbuh menjadi warga masyarakat global yang toleran dan menghargai keanekaragaman.

Sekarang ini, kualitas pendidikan menurun, tidak hanya karena krisis pendanaan tetapi juga karena kekerasan, agresi, serta pelanggaran hukum. Seluruh sikap-sikap mental mengalami degradasi, termasuk sikap mental bertanggung jawab. Beberapa orang yang pada mulanya kelihatan sangat berpotensi untuk berwatak penuh tanggung jawab, ternyata berubah menjadi pelempar tanggung jawab.Kemudian hasil penelitian yang mengejutkan dunia pendidikan yaitu penelitian Dr Imam Tholkhah. Hasil penelitiannya yaitu potensi radikalisme agama di sekolah ternyata besar. Dari 500 guru agama di yang diteliti, 60 persen berpotensi intoleran. Meski intoleransi tak selalu identik atau paralel dengan radikalisme, tetapi sikap dan pemahaman itu dapat menjadi embrio radikalisme. Banyak sekali tantangan yang harus dihadapi dalam pengembangan pendidikan oleh orang tua, pendidik, dan pemerintah dalam rangka meningkatkan persentase pertumbuhan inklusi sosial.

Lemahnya masyarakat kita akan makna keberagaman dan kemajemukan disebabkan pelajaran yang berorientasi akhlak atau moralitas serta pendidikan agama di sekolah kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengamalan secara nyata dan menyentuh kehidupan riil masyarakat kita. Bahkan kadang dunia pendidikan justru mengembangkan persoalan-persoalan yang dapat melunturkan kerukunan kehidupan antar umat beragama.

Brenda Watson dalam Education and Belief menyampaikan tiga sebab utama yang menjadikan gagalnya pembelajaran agama di sekolah-sekolah.

Pertama, pembelajaran yang dilakukan guru lebih condong kepada proses indoktrinasi (indoctrination process) akibatnya pembelajaran agama diposisikan sebagai sesuatu yang bersifat absolut, mutlak, dan tak terbantahkan. Kedua, pembelajaran agama lebih ditekankan terhadap hal-hal yang bersifat normatif-informatif. Ketiga, kuatnya ideologi atau komitmen agama yang dimiliki oleh guru.

Ketiga penyebab di atas telah membuat pola pikir anak didik kurang terbuka dan tidak inklusif. 

Pembelajaran yang normatif melalui doktrin-doktrin keagamaan yang tak terkontrol dapat membuat cara pikir satu arah akibatnya peserta didik tidak mau menerima masukan dari orang lain bahkan  tidak menerima adanya perbedaan. Peserta didik pun akan menyetujui atau membenarkan aksi kekerasan untuk membela kelompok atau agamanya.

Sekolah sangat efektif dalam usaha menjaga dan melestarikan keberagaman untuk mewujudkan kebersamaan dan kerukunan  hidup. Sekolah dengan demikian harus menyediakan ruang bagi bertumbuhnya keberagaman dan kemajemukan. Maka pengenalan terhadap simbol-simbol suku, kepercayaan, agama, budaya, perlu dikenalkan terhadap peserta didik sejak dini. Usaha tersebut untuk mengenalkan bahwa berbeda itu adalah sebuah keniscayaan. Dengan mengenalkan beragam perbedaan sejak dini merupakan fondasi utama dalam membangun karakter inklusif dan toleransi.

Dalam pendidikan toleransi, kita perlu memperhatikan beberapa hal yaitu: Pertama tentang dimensi-dimensi kultural dalam realitas hidup masyarakat. Bagaimana segenap dinamika dalam realitas hidup masyarakat ditopang oleh kesadaran multikultural dan rasa toleransi. Walaupun ada rekayasa kultural melalui proses-proses pedagogi, tetapi setiap individu di dalam kehidupan masyarakat saling menghargai satu sama lain. Sekolah, perguruan tinggi, pesantren dan seminari memiliki peran besar menjalankan agenda pendidikan toleransi, demi mengawal tumbuhnya spirit multikulturalisme.

Kedua, pendidikan toleransi menyatu dengan eksistensi negara. Negara berhak bekerja sebagai kekuatan besar yang berfungsi untuk merawat tatanan hidup yang toleran. Di dalamorkestrasi negara, maka tegaknya hukum dan keadilan secara nyata diperlakukan sebagai satu dimensi pendidikan toleransi yang sangat penting untuk mempertahankan eksistensi negara dalam jangka panjang. Para pejabat negara harus bertindak keras serta tegas demi memberantas tindakan intoleransi. Selain itu, para pejabat negara dituntut sigap untuk setiap saat melawan beragam gagasan dan pemikiran yang menumbuhkan ide-ide intoleransi.

Nuryah, S.Pd.I
Guru Pendidikan Agama Islam SMP Budi Utama Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar